Semarang, 21 Februari 2025 – Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan menggelar kajian turbulensi bertema “Kesenjangan Pemikiran Makro Islam: Taklif dan Perilaku Agregat Makro”. Acara ini menghadirkan Prof. Akhmad Syakir Kurnia, S.E., M.Si., Ph.D sebagai pemateri utama dan Mesi Herawati, S.E., M.E. sebagai moderator. Kajian ini diselenggarakan secara offline di Ruang Rapat Gedung C, Program Studi Ekonomi, Universitas Diponegoro (Undip), serta daring melalui platform Zoom, sehingga memungkinkan partisipasi lebih luas dari berbagai kalangan akademisi dan mahasiswa.
Kajian ini bertujuan untuk membahas hubungan antara konsep taklif dalam Islam dan perilaku agregat makroekonomi. Beberapa pertanyaan utama yang menjadi fokus diskusi meliputi: apakah fenomena makro merupakan hasil agregasi dari perilaku mikro? Apakah ketaatan individu terhadap taklif atau beban hukum syariat otomatis mencerminkan perilaku makro? Jika tidak, bagaimana konsep makro Islam seharusnya dibangun?
Selain itu, kajian ini juga menelusuri evolusi pemikiran makroekonomi dari berbagai aliran, dimulai dari pemikiran klasik yang berasumsi adanya hubungan linear antara ekonomi mikro dan makro. Namun, teori Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest, and Money menunjukkan bahwa fenomena makro tidak selalu mencerminkan perilaku mikro, terutama setelah peristiwa Great Depression. Seiring berjalannya waktu, berbagai teori makroekonomi berkembang, termasuk teori pertumbuhan modern (Modern Growth Theory) yang dipelopori oleh Daron Acemoglu. Teori ini menyoroti faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang, seperti inovasi, kebijakan institusional, serta investasi dalam sumber daya manusia dan teknologi.
Sesi diskusi di kajian turbulensi
Dalam konteks Islam, diskusi ini juga membahas pendekatan Islamisasi pengetahuan, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Naquib al-Attas dan Ismail al-Faruqi. Al-Attas menekankan pentingnya internalisasi nilai dan moral dalam ilmu pengetahuan, sebagai respons terhadap kecenderungan ilmu modern yang semakin menjauh dari aspek moralitas. Sementara itu, al-Faruqi berpendapat bahwa umat Islam perlu menguasai ilmu ekonomi modern sembari memahami warisan keilmuan Islam, serta membangun sintesis kreatif yang tetap memenuhi kaidah ilmiah sebelum didiseminasikan ke masyarakat luas. Pendekatan ini berusaha mengintegrasikan ilmu ekonomi konvensional dengan prinsip-prinsip Islam, sambil menghilangkan konsep-konsep yang bertentangan dengan ajaran Islam, termasuk dalam epistemologi konsep untung-rugi. Islam sendiri menekankan nilai-nilai normatif (das sollen) dibandingkan sekadar deskriptif (das sein), dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama, serta tafsir dan hipotesis ilmiah sebagai sumber sekunder.
Kajian dilakukan secara online dengan Zoom
Para peserta kajian diharapkan tidak hanya berhenti pada proses Islamisasi pengetahuan, tetapi juga menyadari tantangan besar yang dihadapi umat Islam dalam perkembangan ilmu ekonomi. Pasca abad ke-12, ilmu pengetahuan di dunia Muslim mengalami stagnasi akibat dominasi peradaban Eropa. Kesadaran akan ketertinggalan ini sempat melahirkan gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin oleh Hasan al-Banna, yang bertujuan membangkitkan kembali peran Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Namun, pendekatan yang relevan di masa lalu belum tentu memadai untuk menjawab tantangan zaman sekarang. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran ekonomi yang tidak lagi pragmatis dan sekadar reaktif terhadap perkembangan global, tetapi lebih bersifat idealis dan berorientasi pada konsep keadilan serta kesejahteraan universal. Ekonomi Islam harus mampu menghadirkan konsep makro yang tidak hanya berlandaskan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keseimbangan sosial, distribusi yang adil, dan prinsip keberlanjutan. Dengan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis nilai-nilai Islam, diharapkan dapat lahir sistem ekonomi yang tidak hanya kompetitif tetapi juga berkontribusi pada peradaban manusia secara lebih luas.